Kamis, 04 November 2010

Meningkatkan Budaya Literasi di Madrasah

Madan Sarup dalam  An Introductory Guide to Post Structuralisme and Post Modernisme (1989) merekam perdebatan tentang keutamaan antara bahasa lisan dan bahasa tulis. Levi-Strauss(1829-1902) dalam The Savage Mind (1966), mengatakan bahwa alam (nature) lebih istimewa daripada budaya (culture) dan ujaran (voice) lebih bergengsi daripada tulisan (writing), karenanya tulisan hanya sebagai pelengkap ujaran.

Namun Jacques Derrida (1930-2004) dalam Writing and Difference (1978) mendekonstruksi pandangan di atas yang menyatakan bahwa tulisan (writing) sesungguhnya merupakan  prakondisi bagi bahasa dan mesti didahulukan daripada ujaran.[1]Sebelumnya, Gelb (1969) sebagaimana dikutip Tarigan (1983)  menganggap bahwa tulisan hanya terdapat dalam peradaban[2]. Jauh sebelumnya sejumlah tokoh besar seperti Thomas Carlyle (1975 - 1881), Immanuel Kant (1724-1804) , Comte de Mirabeau (1749-1791) dan Ernest Renan (1823-1892) termasuk para tokoh yang meyakini bahwa  tradisi tulis sebagai awal pembentuk peradaban. Sehingga para antropolog berkesimpulan bahasa tulis sebagai pembeda antara manusia beradab dan biadab[3]. Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (1989), turut mengritisi tradisi lisan, dia memandang masyarakat dengan tradisi literasi sebagai masyarakat yang mumpuni.[4]
  Namun di lain pihak banyak yang memahami kelebihan dari metodologi tradisi lisan, misalnya Ferdinand de Saussure (1857-1913) berpendapat ujaran atau pembicaraan lebih primer ketimbang tulisan, Henry Sweet (1845-1912) juga mengatakan bahwa tulisan memungkinkan adanya penyembunyian huruf oleh pembaca.[5] Lebih jauh dijelaskan bahwa, tulisan memang dapat menyebabkan adanya distorsi, karena menghilangkan sekian variabe lain yang berpengaruh dalam pengambilan makna dan pemahaman, misalnya vareabel psikologi, setting, suasana, sosial dan lain-lain.[6] Tetapi adanya metodologi membaca teks, seperti hermeneutika, kritik sastra, teori dekontruksi dan lainnya sebetulnya dapat menjawab kekhawatiran di atas. Hidayat (2004) menjelaskan bahwa bahasa lisan dan dialog langsung, masih sangat diperlukan dalam wilayah keagamaan, tetapi dalam dunia ekonomi dan ilmu pengetahuan bahasa tulis lebih unggul,[7] karena bisa mempercepat waktu dan menghilangkan jarak.   
Jika pembelajaran bahasa asing lebih mengutamakan bahasa lisan,  maka disyaratkan dipenuhinya sarana-prasarana yang memadai,[8] lingkungan bahasa yang kondusif,[9] sumberdaya yang baik[10] dan alokasi waktu yang cukup.[11] Jika hal ini didasarkan pada analisa kebutuhan (need analisys), maka pembelajaran bahasa asing di madrasah/ sekolah meliputi dua jenis kebutuhan, yakni kebutuhan memasuki dunia kerja dan kebutuhan sarana pendalaman keilmuan[12]. Untuk alasan yang pertama kecil kemungkinan, mengingat jarangnya perusahaan Timur Tengah (Arab) yang berinvestasi di Indonesia[13] maupun di Timur Tengah sendiri yang menyerap tenaga terdidik Indonesia (alumni madrasah) sehingga menuntut kemampuan berbicara. Faktanya hanya sebagian kecil masyarakat memerlukan bahasa asing (lisan) untuk berkomunikasi berkaitan dengan pekerjannya[14]. Bahasa Arab lisan cenderung sulit untuk dipraktikkan/ dikembangkan di luar kelas. Berbeda dengan bahasa tulis, dengan tersedianya media informasi (kitab, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain) latihan di luar kelas lebih banyak kesempatan.
Dan bila ditargetkan pada pencapaian bilingualisme dalam komunikasi sehari-hari,[15] secara nyata, bahasa Arab memiliki beberapa kelas bahasa[16] yang terdapat perbedaan mendasar antara kelas bahasa resmi/ ilmiah (fushâ/ literary Arabic) dan kelas bahasa komunikasi sehari-hari (coloquiall). Dalam komunikasi coloquiall komunitas Arab dari berbagai kalangan, baik dari pengarang kitab,[17] para dosen[18] apalagi orang biasa cenderung memakai bahasa pasaran/ ‘âmiyah (al lughah al dârijah) yang selama ini dianggap buruk (abomination)[19], sedangkan di madrasah hanya diajarkan bahasa Arab kelas fushâ.[20] Untuk itulah penguasaan bahasa Arab lisan semakin absurd dan sulit pencapaiannya.
Kemampuan literasi pada pembelajaran bahasa Arab di madrasah seiring dengan pencanangan gerakan meninggalkan tradisi lisan, memasuki tradisi tulis. Teeuw dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia berada dalam masa transisi dari masyarakat kelisanan (orality) menuju masyarakat keberaksaraan (literacy).[21] Dalam Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia, bahwa bahasa lisan tidak mampu dinikmati dalam jangka waktu lama, berbeda dengan bahasa tulis yang dapat merekam peristiwa-peristiwa masa lalu untuk disalin ke dalam bahasa modern.[22] Wacana lisan cenderung tidak awet karena terikat dengan ruang dan waktu.[23] Dalam literatur Islam Ali bin Abi Thâlib menganjurkan untuk mengikat ilmu dengan tulisan. Hal ini sebagai tanda bahwa Islam menjunjung tinggi tradisi literasi sejak awal.
Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat[24]. Oleh karena itu, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, mengkomunikasikan, dan kemampuan berhitung melalui materi-materi tertulis dan variannya[25]. Namun, Koiichiro Matsuura, Director-General UNESCO menjelaskan literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, tetapi mencakup bagaimana berkomunikasi dalam masyarakat, terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya[26]. Pembelajaran membaca dan menulis bahasa Arab dapat dijadikan fokus utama, sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa-siswi madrasah dalam konteks kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Urgensi kemampuan literasi dapat dibuktikan misalnya, Marx (1818-1883) mampu mengadakan perubahan di Rusia melalui bukunya yang berjudul Das Capital dan Sun Yat Sen ( 1816-1870) dengan buku yang ditulisnya berjudul San Min Chui. Demikian Al Ghazali (450H/ 1058M) mampu menggugah dan membangkitkan semangat pembaharuan dan meningkatkan kesadaran beribadah melalui buku Ihya’ Ulumuddin. Bung Karno (1901-1970) menggerakkan revolusi untuk mencapai kemerdekaan antara lain juga melalui buku-bukunya Sarinah, Di Bawah Bendera Revolusi, dan lainnya[27]. Kebijakan Khalifah al Makmun di Baghdad dalam setiap membangun masjid selalu ditandai dengan pembangunan perpustakaan yang diberi nama “ Istana Kebijaksanaan/ Bait al Hikmah. Pembangunan perpustakaan ini sejalan dengan pembangunan Universitas Al Azhar di Kairo, Universitas Corodova di Spanyol yang menjadi inspirasi pembangunan perpustakaan di universitas-universitas di Barat[28].
Dalam proses pembelajaran bahasa tulis asing (Arab) di madrasah porsi pokok bahasan literasi khususnya menulis masih relatif sedikit dan tak lebih sebagai pelengkap. Materi menulis sebagai kelanjutan dari membaca[29] yang secara integral sebagai dasar membangun kemampuan literasi. Muhaimin menekankan bahwa, melalui penekanan pada baca-tulis akan menghasilkan ketrampilan berkomunikasi dengan obyek yang dibaca, ketrampilan bernalar dan berimajinasi serta dapat menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, percaya diri dan kesadaran diri dengan cara menuangkan hasil bacaan, ide-ide, gagasan-gagasan dan pengalamannya dalam tulisan serta menancapkan hasil bacaan ke dalam benak dan hatinya.[30]
Pembelajaran baca-tulis bahasa Arab, di samping sebagai sarana pendalaman kajian ke-Islaman dan budaya Arab juga nantinya mendukung ketrampilan bahasa lainnya (menyimak dan berbicara)[31] atau postliterasi[32] (kemampuan bicara yang berkualitas).
Latihan membaca berkaitan erat dengan latihan menulis dengan konsentrasi penuh melakukan komunikasi satu arah dan membatasi diri pada komunikasi dua arah. Pelimpahan pemahaman secara intensif pada masa-masa awal pembelajaran, akan menunjukkan kemampuan berbahasa yang lebih baik dari pada pembelajar yang pada masa itu diberi latihan oral secara bertubi.[33] Nababan (1985)[34] dan Wang (1986)[35] termasuk pendukung pendapat ini dengan mengatakan bahwa memahami apa yang dikatakan akan lebih mudah dari pada mengatakan semua apa yang dipahami.
 Menurut Salinger memberikan pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment)  diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan bahasa, karena siswa menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic communication).[36] Kegiatan seperti di atas dapat diaplikasikan selain di dalam kelas juga di luar kelas dengan membuat karangan fiksi maupun nonfiksi bahasa Arab untuk dipublikasikan melalui majalah dinding (mading) dan majalah sekolah.[37] Dengan adanya alasan-alasan yang dikemukakan oleh para pakar di atas, mendorong perlunya melakukan tinjauan terhadap pembelajaran ketrampilan literasi dalam pembelajaran bahasa Arab, terutama aspek menulis yang diasumsikan masih kurang diperhatikan.
Adanya gerakan untuk meninggalkan tradisi oral/ lisan kepada tradisi literasi/ tulis mendorong terjadi kesadaran-kesadaran baru pada tataran teoritis atau filosofis yang membentuk paradigma baru dalam memaknai pembelajaran bahasa. Siswa merasa menulis sebagai cara baru mengomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan bahasa lisan. Mereka mengobservasi lingkungan dengan literasi (sumber bacaan), dengan cara ini mereka merasa bahwa literasi adalah bagian dari perkembangan alamiah mereka[38]. Halliday memberikan definisi teks sebagai “language that is functional”. Menurutnya pengembangan kompetensi komunikatif dapat dilaksanakan melalui pembelajaran berbagai jenis teks yang berguna bagi kehidupan nyata peserta didik. Indikator penguasaan setiap jenis teks dapat dirumuskan sebagai kemampuan peserta didik menggunakan teks tersebut untuk mencapai tujuan dengan tepat secara strategis, dengan kualitas kebahasaan yang baik dan benar.[39]
Martha C. Pennington (1996)[40] mengatakan bahwa, secara fakta dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri, karena bahasa tulisan mudah dipelihara dari generasi sesuatu ke generasi berikutnya.  Tri Wahyu R.N (2008)[41], penggunaan bahasa tertulis lebih leluasa daripada bahasa lisan karena si penulis bebas dari kendala waktu dan kehadiran lawan komunikasinya, sehingga karya tulis merupakan cerminan dari taraf pengetahuan dan kemampuan bahasa penulisnya, karena karya tulis dihasilkan telah melewati proses pemikiran, perencanaan, dan pemantauan yang memadai.
Demikian juga, guru memahami bahwa menulis sering berkembang secara simultan dan dapat membantu siswa menemukan kembali kemunculan keterampilan literasi di dalam sebuah konteks yang bermakna. Perubahan yang cukup signifikan adalah diletakkannya wacana atau discourse dalam posisi sentral. Pergeseran paradigma pembelajaran bahasa menuju kepada pembelajaran yang menyiapkan siswanya untuk memiliki kompetensi agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat modern ini disebut oleh Kern (2000) sebagai pendekatan literasi.[42]
Rendahnya budaya literasi di madrasah tampak dalam dominasi kegiatan pembelajaran yang bersifat lisan. Setidaknya ada dua faktor penyebab rendahnya kemampuan literasi siswa dan masyarakat. Pertama sistem pendidikan kurang memberikan peluang yang cukup bagi tumbuhnya budaya bacatulis, guru kurang memberi contoh membaca dan menulis yang baik, metode dan  teknik-teknik baca tulis belum optimal serta perpustakaan sekolah yang belum difungsikan sebagai sumber belajar karena memang tidak tersedianya ruang baca dan koleksi buku yang memadai. Kedua, aktivitas pembelajaran didominasi kegiatan lisan tanpa melibatkan aktivitas kegiatan membaca dan menulis, seperti menyusun kutipan, parafrase, ikhtisar dan komentar.[43] Menurut Pardiyono, pembelajaran menulis selama ini hanya tertumpu pada kesalahan grammar/ tata bahasa bukan pada bagaimana cara menuangkan info/ meaning realization.[44] 
Kurikulum bahasa Arab selama ini belum memberi perhatian yang semestinya pada kemapuan literasi khususnya menulis. Padahal al-Khûlî  (1989) mengatakan keterampilan menulis hendaknya diajarkan melalui sistem gradasi, dari yang mudah sampai dengan yang sulit yaitu menulis dalam bentuk mengarang.[45] Sedangkan Tu’aymah (1989) untuk tingkat pemula siswa dilatih untuk kegiatan kaligrafi/ menyalin, kegiatan imlâ’ dengan menuliskan apa yang ia dengar, baik dalam bentuk kata, kalimat, ataupun paragraf sesuai dengan kaidah penulisan (kaidah imlâîyyah) dalam bahasa Arab.[46]  Sehingga melalui kegiatan menulis  siswa diharapkan mampu menulis suatu karangan menurut ide dan kreatifitasnya, baik dalam bentuk insyâ’ muwajjah maupun insyâ’ hurr.[47]
Pembelajaran bahasa di negara-negara maju dengan menggunakan media karya sastra seperti cerpen, novel, anekdot dan lain-lain dalam rangka menunjang ketrampilan literasi[48] yang dikembangkan guna melatih memperoleh dan menuangkan informasi. Sebagaimana dalam Bahasa Arab Fathi Ali Yunus cenderung tidak menyuguhkan materi dari ayat-ayat al Qur’an al Karim kepada kelas-kelas pemula (termasuk siswa Madrasah Aliyah di Indonesia) karena gaya bahasanya yang tinggi membuat siswa akan merasa kesulitan dan enggan di dalam belajar bahasa Arab.[49] Untuk itu dia merekomendasikan materi di atas diambilkan dari kehidupan dan pengalaman sehari-hari dan materi komunikasi antara siswa dengan native speaker yang tentunya dirasa akan lebih familier dan mudah.[50]
Dengan demikian mendorong perlunya untuk meninjau pelaksanaan pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan komunkatif sebagai bahasa asing untuk menghadapi tantangan era modernisasi dan merupakan alat kemajuan peradaban bangsa.[51] Terlebih lagi, perlunya tinjauan terhadap pembelajaran bahasa Arab mengingat bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa keilmuan Islam, dan bahasa peradaban dunia. Atas dasar inilah, penelitian dengan tema Kemampuan Literasi Bahasa Arab (Telaah Terhadap Aplikasi Pendekatan Komunikatif pada Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah se-Karesidenan Semarang) laik dilakukan.


[1] Madan Sarup, An Introductory Guide to Post Structuralisme and Post Modernisme (Athena: University of Georgia Press, 1989), hal. 27.
[2] Henry Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa (Bandung: Angkasa, cet I,1983), hal. 32.
[3] AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2004), hal. V.
[4] Dewi Alessandra Purnamasari, “Praliterasi, Literasi dan Posliterasi” artikel diakses pada 11 Februari 2008dari :http:// dewialessandrapurnamasari .blogsome.com/ 2008/08/02/praliterasi-literasi-posliterasi/trackback/
[5] Komarrudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, cet. Ke-3, 2004),  hal.116.
[6] Komarrudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal.118
[7] Komarrudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal.116
[8] Lihat : Ahmad Fuad Effendy, Metodology Pembelajaran Bahasa Arab (Malang: Misykat, 2005), h. 167.
[9] Al Wasilah menekankan perlunya lingkungan bahasa yang optimal (community language) untuk mencapai ketrampilan berbicara yang sesungguhnya. Lihat: Chaedar Al Wasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan ( Bandung: Rosda Karya, 2008 ), hal. 56. Pembentukan lingkungan bahasa sukar dilakukan, kecuali berada di lingkungan budaya yang sama. Lihat : Nayif Kharmâ dan Alî Hajjâj, Al-Lughah Al-Ajnabiyyah Ta‘allumuhâ wa Ta‘lîmuhâ (Kuwait: Al-Majlis Al-Watanî li Al-Tsaqâfah wa Al-Funûn wa Al-Adab, 1988), h. 187. Yakni dengan mendatangkan native speaker atau tersedianya guru yang memiliki kemampuan bicara mendekati native speaker. Lihat: Douglas Brown, Principles of Language Learning and Teaching (San Fransisco: Longman, Fourth Edition, 2000), h. 246.
[10] Sebagian besar guru bahasa asing di madrasah masih lemah dalam ketrampilan bicara.
[11] Untuk mata pelajaran bahasa Inggris masih bagus, yakni 4 jam pelajaran/ minggu dari pada mata pelajaran bahasa Arab alokasi waktu cuma 2 jam pelajaran/ minggu.
[12] Suroso, Panduan Menulis Artikel dan Jurnal, hal 50.
[13] Walaupun dengan adanya pertemuan WIEF (Worl Islamic Economic Forum) tanggal 1-2 Maret 2009 di Jakarta kemarin, ada kesepakatan negara Uni Emirat Arab untuk melakukan investasi di Indonesia, namun masih bersifat wacana. Lihat : Wawancara Metro TV, 2 Maret 2009 bersama Mudrajad Kuncoro-Pengamat Keuangan UGM.
[14] Suroso, Panduan Menulis Artikel dan Jurnal, hal 50.
[15] Saefuddin, “Bilingualisme Masyarakat Dalam Wacana: Analisis Deskriptif tentang Pemerolehan Bahasa Kedua,” Al-Turats, Volume 11, No. 3
[16] Nâyif Mahmûd Ma’rûf, membagi kelas bahasa Arab menjadi fushâ dan ‘âmiyah. Lihat: Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khasâis al-‘Ârabiyah wa Tarâiqu Tadrîsihâ, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1998), hal. 52. Rusydî Ahmad Tu’aimah membaginya hanya menjadi dua, yaitu: 1) fushâ al-turâts, dan 2) fushâ al-mu’âshirah yang dikenal juga dengan sebutan al-‘arabiyah al-mi’yâriyyah al-mu’âsirah (Bahasa Arab Standar Modern). Ia tidak memasukkah ‘âmiyah ke dalam kelas bahasa. Lihat: Rusydî Ahmad Tu’aimah, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair al-Nâtiqîn Bihâ: Manâhijuhu wa Asâlibuhu,(Rabat: ISESCO, 1989), hal. 42. Namun Jaston Bary dan Johan Smith berpendapat bahwa tidak mungkin membuat batasan yang tegas antara kelas-kelas bahasa. Lihat: al-Sayyid ‘Abd al-Fattâh ‘Afîfi, ‘Ilm al-Ijtimâ’î al-Lughawî, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1995), hal. 122.
[17] Sejak masa awal pertumbuhan ilmu-ilmu ke-Islaman (abad ke-2 hingga ke- 3 Hijriyah), dijumpai dua fenomena berbahasa yang berdampingan, yakni bahasa Arab “tinggi” yang dipakai oleh para ulama atau sarjana dan bahasa Arab “pasaran” atau “semi-pasaran” yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Imam Shafi’i misalnya, memakai bahasa Arab standar dalam menulis kitab-kitabnya (al-Risalah, al-Umm dll.) namun tidak demikian dalam percakapan sehari-hari. Demikian juga Imam Nawawi dan ulama’ lainnya yang hidup pada abad 13 Masehi melakukan hal yang sama. Lihat: Ulil Abshar Abdalla, “Citra Keliru Tentang Bahasa Arab”, artikel diakses pada 27 Desember 2008 dari www.islamlib.com/2008/16072008/JIL.html
[18] Deskripsi mata kuliah Pembelajaran Bahasa Arab Kontekstual, banyak dosen di Universitas Al Azhar Kairo yang menggunakan bahasa pasaran dalam keseharian yang terbawa ke dalam kelas kuliah, sehingga banyak mahasiswa yang protes.
[19] Ulil Abshar Abdalla, “Citra Keliru Tentang Bahasa Arab”, artikel diakses pada 27 Desember 2008 dari www.islamlib.com/2008/16072008/JIL.html   
[20] Sekalipun bahasa Arab modern (MSA) sebagai bahasa pemersatu dan bahasa resmi yang dijadikan media dalam pertukaran informasi  cetak maupun percaturan resmi kenegaraan, namun dipergunakan juga  bahasa Arab dengan dialek khusus dalam percakapan sehari hari/ colloquial. Sehingga terjadi disglossia antara MSA dan colloquial sesuai fungsinya masing masing. Selanjutnya terjadi tumpang tindih di antara keduanya yang bergantung pada sang pembicara, topik pembicaraan, dan situasi berbicara. Lihat: Mengenal Bahasa Arab Klasik dan Modern, artikel diakses pada 12 Januari 2008 dari http://www.arabacademy.com/cgi-bin/library courses/faqi.htm
[21] Lihat: A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan ( Jakarta, Pusataka Jaya, 1994), hal.5.
[22] Amir F Hidayat, Elis N Rahmani, dkk., Ensklipodi Bahasa-bahasa Dunia, Peristilahan dalam Bahasa (Jakarta: Pustaka Grafika, 2006), hal. 43.
[23] Fatimah Djajasudarma, Wacana (Pemahaman dan Hubungan Antarunsur) (Bandung, Refika Aditama, cet.ke-2, 2004), hal. 53. Penyampaian pikiran dan perasaan dengan bahasa lisan dirasa kurang cermat karena bersifat spontan sehingga pendengar kurang akurat dalam menangkap dan memahaminya. Namun kelebihannya penyampaiannya dapat didukung dengan intonasi, mimik muka, suasana yang ada atau diciptakan (serius, kelakar, haru, gembira, dsb). Lihat Al “Qur’an, bahasa wahyu?”, artikel diakses pada 19 Februari 2009 dari www.MillahIbrahim.net
[24] Irwin. S., Kirsch and A. Jungeblut, .Literacy: Profile of America's young adults, ( Princeton, NJ: National Assessment of Educational Progess and Educational Testing Service, 1986).
[25] UNESCO Education Sector, The Plurality of Literacy and its implications for Policies and Programs: (Paris: United National Educational, Scientific and Cultural Organization), 2004, hal.13,  artikel dikases pada 2 Juni 2008 dari http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001362/ 136246e. pdf
[26] Tarlen Handayani, “Mengkritisi Gerakan Literarsi Lokal”, artikel diakses pada 13 Desember 2008 dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/122007/19/11wacana.htm,
[27] Lasa, Hs, “Penulisan Buku Teks Perguruan Tinggi”, Makalah Workshop Strategi dan Teknik Penulisan Buku Teks Perguruan Tinggi (Surakarta: LPP UNS Surakarta, 19 Juli 2006), hal.1
[28] Suroso, Panduan Menulis Artikel dan Jurnal (Yogyakarta: Pararaton, 2007), hal 12.
[29] Menulis dan berbicara dapat disebut sebagai post reading (akhir dari kegiatan membaca). Lihat: Fahrurrazy, “Pendekatan Kontruktivis Untuk Pembelajaran Reading Bahasa Inggris”, JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, IX, no.1,(1APRIL 2002): hal. 3.
[30] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam  (Bandung : Nuansa, 2003), hal. 126.
[31] Susunan materi yang berangkat dari hal-hal yang mudah menuju hal-hal yang rumit dan kompleks sesuai dengan teori psikologi Stimulus-Respon dari aliran Behaviorisme yang tokoh utamanya Edward L. Thorndike. Yakni ada tiga hukum belajar yaitu Law of readness, law of exercise or repeat, dan law of effect. Nana Syaodih Sukamdinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. (Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya, cet ke 7, 2005), hlm. 54. Berkenaan dengan pemerolehan bahasa kedua dengan teori pemahaman (comprehension) untuk mencapai kemampuan penghasilan (produktif). Lihat : Stephen D Krasen, Second Language acquisition and Second Language Learning (Oxford: Pergamon Press Ltd, 1981), hal. 7.
[32] Ada tiga kategori besar masyarakat Indonesia, yakni praliterasi, literasi dan posliterasi. Pertama masyarakat praliterasi (mayoritas) yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit mengakses media (buku, TV, internet dll). Kalaupun bisa mereka tidak bisa mencernanya dengan mudah. Kedua masyarakat literasi yang memiliki akses terhadap buku, tidak berarti tradisi baca-tulis tumbuh subur di kalangan ini. Ketiga masyarakat posliterasi yang memiliki akses buku dan teknologi informasi dan audio visual. Lihat : Dewi Alessandra Purnamasari, “Praliterasi, Literasi dan Posliterasi”, artikel diakses pada 11 Februari 2008dari :http:// dewialessandrapurnamasari .blogsome.com/ 2008/08/02/praliterasi-literasi-posliterasi/trackback/  
[33] Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pembelajaran Bahasa, hal. 83
[34] P.W.J Nababan, “The Communicative approach : Questions Arising from Materials Writing in a TEFL Situation”,  dalam Bikram K Das (Ed.) Communicative Language Teaching ( Singapura: Singapura University Press, 1985), hal. 158-170
[35] Dewei Wang, “Optimal Language Learning Based on The Comprehension – Production Distinction”, dalam Christopher J Brumfit (ed) The Practice of Communicative Teaching, (Oxford: Pergamon Press 1986), hal 99-122.
[36] Terry Salinger, Literate Environment. School Improvement in Maryland”, artikel diakses pada 17 Desember 2008  dari http://www.mdk12.org/practices/good_instruction/project better/elangarts/ela-62-63.html
[37]  Langer (1997) dalam Hui-fang Shang, “Content-based Instruction in the EFL Literature Curriculum (The Internet TESL Journal, Vol. XII, No. 11, November 2006), diakses pada 11 Januari 2009 dari http://iteslj.org/Techniques/Shang-CBI.html, Karya sastra dapat menghantarkan pembelajar mengetahui 2 hal sekaligus yaitu bahasa dan literasi.
[38] Donald, Graves, 2001. Emergent Reading and Writing Connection. School Improvement in Maryland” diakses pada 12 Januari 2009 dari (http://www.mdk12.org/ practices/good_instruction/ projectbetter/elangarts /ela-97-99.html
[39] M.A.K. Halliday, Spoken and Written Language (Victoria:Brown Prior Anderson Pty Ltd, Deakin University, 1985), hal.12.
[40] Martha C. Pennington, Phonology in English Language Teaching: An International Approach (New York: Longman Publishing, 1996),  hal. 186.
[41] Tri Wahyu R.N, Ketrampilan Literasi dalam Konteks Wacana Bahasa Indonesia, dalam Ranah Menulis Akademik (Jakarta: Fakultas Sastra  Universitas Gunadarma, 2008).
[42] N. Kern, Criteria for Authentic Project-Based Learning (Denver: RMC Reseach Corporation, 2000) hal. 15.
[43] Suroso, Panduan Menulis Artikel & Jurnal, hal 13.
[44] Pardiyono, Pasti Bisa Teaching Genre Based Writing (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hal. Vii.
[45] M. ‘Ali al-Khûlî, ‘Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah, cet. III (Riyad: T.pn, 1989), hal. 129.
[46] Rusydî Ahmad Tu’aymah, Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâtiqîn bihâ (Mansyûrât al-Munazzamah al-Islamiyyah li al-Tarbiyah wa al-‘Ûlûm wa al-Tsaqâfah – ISESCO, 1988), hal. 186.
[47] Insyâ’ muwajjah adalah mengarang dengan bimbingan (arahan) melalui klu-klu yang harus diikuti oleh siswa. Sedangkan insyâ hurr’ adalah mengarang bebas tanpa ada bimbingan dan arahan. Lihat, al-Khûlî, ‘Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah, h. 138-140.

[48] Lihat :William T. Littlewood, “Literature in the School Foreign-Language Course” dalam Christopher  Brumfit dan Ronald Carter. Literature and Language Teaching.  Oxford: Oxford University Press, 1987,hal. 178-183. Memberikan beberapa hal penting berkaitan dengan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran bahasa asing. Karya sastra, dalam level yang paling sederhana, tidak berbeda secara kualitas dengan bentuk-bentuk linguistik lainnya karena merupakan bentuk instan dari penggunaan produktif sejumlah struktur linguistik agar tercapainya komunikasi berbahasa. Selain itu, karya sastra menawarkan “banyak hal” berkaitan dengan proses berbahasa.

[49] Fathi Ali Yunus dan Muhammad Abdul Ra’uf, Al-Marja’ fi Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Ajânib min al-Nazariyyah ilâ al-Tatbîq (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hal. 136.
[50] Fathi Ali Yunus dan Muhammad Abdul Ra’uf, Al Marjâ’ fî Tailîm al Lughat al- ‘Arabiyyah li al Ajânib (Min al Nadzâriyat ila al Tathbîq), hal. 137
[51]Hardjapamekas, Metodologi Pembelajaran Bahasa (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005), hal. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar